Bicara tentang era disrupsi maka tentu bicara tentang inovasi. Perubahan kreatif yg berasaskan efesiensi dan efektivitas. Esensi utamanya adalah melakukan perubahan kreatif dengan pelbagai cara dan bisa juga melibatkan partner ataupun kompetitor.
Suatu sore saya sempat berfikir tentang ini setelah berkunjung ke salah satu gerai Indomaret. Kini, dibeberapa Indomaret sudah bukan hanya menjual barang-barang kebutuhan rumah tangga. Tetapi juga mulai merangsek ke bahan makanan segar yg dulunya hanya dimiliki oleh kompetitornya macam Indogrosir atau Alfamidi.
Bahkan dibeberapa gerai yg ada di jalur mudik atau jalur para traveller menyiapkan aneka sarapan, kue bahkan minuman siap seduh serta akses WiFi yg mumpuni.
Sedemikian banyak inovasi yg dilakukan oleh supermarket ini untuk tetap bertahan dan menjadi top of mind customer yg mendambakan belanja kebutuhan rumah tangga yg lengkap, bersih, murah dan memenuhi hasrat para traveller yg kehausan atau kelaparan.
Kisah berbalik saat saya mengunjungi beberapa sekolah yg dulunya mempunyai nama yang sangat besar. Hingga kini masih besar menurut sebagian orang. Tetapi faktanya berbicara lain. Sekolah yg mempunyai nama besar ini mengalami kesulitan untuk memenuhi target siswa baru di tahun ajaran baru.
Beberapa diantaranya sudah mulai berbenah dan memulai mencari tahu apa dan bagaimana bisa terjadi di institusi mereka yg dulu adalah pioneer dari perubahan dan inovasi yg luar biasa. Mereka yg lebih dahulu mengenal konsep Sekolah Bilingual. Sekolah Entrepreneur. Kini terlihat lesu saat masyarakat memalingkan pilihan ke sekolah yang masih tergolong baru dan muda.
Inovasi dan comfort zone adalah 2 musuh utama yg menjadikan sekolah-sekolah dg nama buesar tsb seolah kolaps dan lemah lunglai dihadapan sekolah-sekolah yg unyu2.
Mereka memilih berbahagia dan puas atas nama besar yg disandang. Para guru, staf, bahkan pimpinan terbuai oleh masa kejayaan-kejayaan yg kini tampak imajinatif. Layanan prima atau lebih kerennya kita mengenal dg sebutan excellent service mulai pudar. Senyum sapa salam sopan santun yg dulu sudah mengakar di semua orang yg ada di sekolah tampak mulai menghilang dan terkesan hanya topeng belaka.
Bandingkan dg sekolah-sekolah baru yg menggeliat maksimal dalam hal pelayanan prima. Senyum tulus kepada orangtua selalu menjadi sorotan utama pimpinan mereka. Belum lagi ditambah dengan semangat menyala-nyala para guru saat mendengar akan mendapatkan sesi pelatihan atau upgrading.
Jika di kelas-kelasnya para lembaga yg mempunyai nama besar dulu begitu kentara energi positif serta kekhasan dari tiap jenjangnya, sekarang nampak hanya rutinitas belaka. Sedangkan disekolah baru, kelas-kelas yg jumlah muridnya tidak seberapa begitu meriah dan riuh kebahagiaan seisi kelas beserta dg nahkodanya, guru. Semangat yg riuhnya sampai terdengar dari seberang jalan.
“Bagaimana kabarnya anak-anak?”, tanya guru yg baru masuk kelas.
ALHAMDULILLAH, I AM HAPPY, AMAAZIIING, AND ALLAAHUAKBAR…YES YES YESSSSS!!!!!
Semangatnya begitu berkobar, padahal hanya ditanya kabarnya. Belum lagi perlengkapan gurunya begitu lengkap mulai dari RPP sampai dengan alat penilaiannya. Belum lagi juga performa guru yg super attractive sekaligus inspiratif yg mampu mengorkestrasi pembelajaran yg begitu bermakna.
Nah, adakah sekolah atau kelas anda sudah melakukan “inovasi” dan lompatan-lompatan kreatif? Atau malah sedang berkutat dg dinding-dinding yg beku dan dingin. Sedingin senyum gurunya yg terlihat redup karena tuntutan hidup?