Semenjak era media sosial mulai menggema para generasi milenial. Hampir generasi X dan generasi Y mulai melirik dan mencoba-coba untuk mengikuti perkembangannya.
Arah dunia mulai beralih ke dunia digital dari dunia fisik. Pergesaran ini membuat dunia pendidikan tentu ikut mengalami perubahan. Karena begitu derasnya arus dunia baru (internet) mulai mengambil alih ketertarikan para peserta didik dan masyarakat umum yang haus akan informasi dan masih terpaku pada layanan mesin pencari jika ingin mencari informasi seputar pendidikan.
Sekolah perlu melihat fenomena ini sebagai suatu kesempatan yang tidak boleh terlewatkan begitu saja. Bagaimana mungkin bisa menjaga para peserta didik kita jika dunia mereka tidak kita selami dan pahami. Dunia internet dan media sosial telah menjadi bagian gaya hidup para peserta didik masa kini. Orangtua pun ikut memeriahkannya dan tidak mau ketinggalan. Forum-forum online semakin ramai, para orang tua pun giat dan gemar memantau setiap grup Whatsapp dan messanger lainnya.
Perkembangan media sosial juga berpengaruh terhadap bagaimana cara masyarakat atau calon orangtua mencari informasi mengenai sekolah idaman. Kata kunci yang berhubungan dengan sekolah idaman, sekolah terbaik mulai marak diburu oleh para pencari informasi. Kemunculan nama sekolah di media sosial ataupun mesin pencari, menjadi indikator keberhasilan tim humas dan branding sekolah untuk menjaring para calon walimurid.
Bagi guru, media sosial adalah jembatan yang bisa digunakan untuk mengetahui dunia para peserta didik, apa saja konten yang sedang tren, konten apa saja yang berpotensi negatif atau positif. Alangkah ngerinya, jika guru tidak mengetahui konten-konten yang sedang marak di dunia maya yang sering muncul di media sosial para siswa. Media sosial pun bisa menjadi jembatan informasi dan komunikasi antara guru dan siswa. Hasil ulangan atau nilai tugas, bahkan tema tugas bisa ter-publish di blog guru atau media sosial guru. Hal ini tentu akan sangat memudahkan guru dalam mengintegrasikan teknologi dengan pembelajaran, serta meningkatkan minat siswa untuk menyelesaikan tugas yang terpampang di blog atau di media sosial guru favoritnya. Konsekuensinya, tentu guru yang mempunyai media sosial tidak bisa secara sembarang menunggah status atau konten apapun yang berpotensi negatif dan memunculkan stigma negatif.
Selain menjadi penguat sisi branding sekolah, pemanfaatan media sosial menjadi salah satu alat untuk mempermudah komunikasi sekolah kepada masyarakat, khususnya orangtua. Mereka bisa memantau perkembangan putra-putri mereka melalui timeline facebook, mengetahui kegiatan-kegiatan sekolah melalui instagram stories, dan lain-lain. Konten-konten yang edukatifpun lebih mudah tersampaikan kepada para peserta didik ataupun orangtua.
Dengan sederet potensi dari media sosial untuk kepentingan sekolah, masihkah sekolah ragu untuk ikut terlibat aktif di media sosial? atau hanya menjadi penonton dan wasit yang sering emosi karena melihat tingkah laku para peserta didik yang diluar kendali saat mereka berinteraksi di media sosial?
Setiap pilihan mempunyai konsekuensi masing-masing. Pastinya, jika sekolah aktif dalam menggunakan media sosial untuk mendukung proses pembelajaran dan komunikasi akan mempermudah segalanya. Jika, sekolah pasif dalam pemanfaatan media sosial inipun, menjadi faktor layanan lain berupa komunikasi langsung dan excellent service perlu diperhatikan lebih dalam.
Jadi Media Seosial untuk Sekolah, masih penting?