Pernahkah anda mendapati saat anda memasuki ruangan yang pada awalnya para karyawan tampak seru dengan percakapan mereka, tiba-tiba terdiam saat mereka mendengar langkah kaki yang kedengaran sangat familiar?
Atau pernahkah anda mendapati seorang karyawan baru yang tampak berubah pucat saat anda memanggil namanya dan mengajaknya untuk berbicara sebentar?
Itu adalah beberapa contoh indikasi bahwa manajemen yang anda kelola berbasis “rasa takut”. Perasaan yang menyelimuti para SDM yang ada di organisasi anda. Kehadiran anda menjadi momok tersendiri bagi mereka dan tanpa adanya anda di kantor membuat kebahagiaan mereka bertambah.
Faktanya, manajemen berbasis rasa takut masih menjadi praktik yang umum. Saat ditanyakan kepada para pimpinan tersebut. Mereka menyatakan nyaman dengan praktik ini serta menurut mereka kinerja setiap SDM menjadi terjaga sesuai standar yang diinginkan oleh pimpinan tersebut.
Dalam survei yang dilakukan terhadap 1.000 perusahaan dan mewawancara 2.017 karyawan yang dilakukan oleh TinyPulse tahun 2017, sebanyak 54% responden bisa membaca visi, misi, dan nilai-nilai budaya perusahaan mereka. Hal ini melampaui rata-rata global yang mencapai 32,50%.
Meski mereka bisa membaca visi, misi, dan budaya kerja perusahaan mereka bekerja, namun karyawan di Asia mengalami masalah komunikasi internal yang besar. Hampir 40% karyawan di Asia memiliki masalah interaksi dengan bos mereka.
Dari survei inipun terlihat bahwa permasalahan komunikasi antara pimpinan dan bawahannya menjangkiti hampir separuh perusahaan yang disurvei.
Apa sebenarnya dampak yang terjadi jika manajemen berbasis rasa takut ini dipelihara dan menjadi tradisi kepemimpinan di suatu organisasi?
Faktanya, seseorang yang bekerja didasari rasa takut akan melakukan pekerjaannya sebatas secukupnya agar tidak dipecat. Kinerja yang biasa-biasa saja menjadi hal yang umum dan lumrah di manajemen berbasis rasa takut. Padahal, manajemen yang sukses adalah manajemen yang mampu menggerakkan “kebersamaan” dari para SDM yang ada.
Karyawan atau SDM yang bagus dan potensialpun tidak akan bisa bertahan lama dalam manajemen berbasis rasa takut ini. Ketika pekerjaan itu terbatas dalam komunitas atau industri kita, karyawan akan membiarkan bos yang dominan dan sewenang-wenang. Namun, jika pasar terbuka lebar, orang-orang terbaik akan meninggalkan organisasi kita untuk mencari tempat bekerja yang lebih nyaman. Pengunduran diri bisa berakibat mahal dan seringkali merusak.
Nah, masihkah anda mempertahankan manajemen berbasis rasa takut ini dengan melihat peluang dan konsekuensi mahal yang ditimbulkannya?
Sampai kapan kita mempertahankan tradisi kepemimpinan dan manajemen seperti ini?
Mampukah manajemen berbasis rasa takut ini bertahan di era disrupsi dan bergelimangnya para calon pimpinan dari generasi milenial yang membutuhkan keikutsertaan dan daya kreativitas dari para orang-orang yang ada di organisasi kita?
Don’t be a boss, lead them!
Sudah tahu Bulan Desember ada agenda Diklat Kepala Sekolah II dan Diklat Pengurus Yayasan?